Memahami First Principle

Alfons
Side A
Published in
9 min readMar 23, 2021

--

Pekan lalu saya mulai menyebut istilah first principle thinking atau first principle reasoning dalam tulisan tentang belajar diam. Istilah first principle semakin ramai ditampilkan sejak perhatian dunia banyak tertuju pada sosok Elon Musk.

Sejujurnya, saya masih mencari padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia. Saya coba memulai dari cuitan Zenius yang menerjemahkan first principle dengan istilah “prinsip pertama dalam bernalar”. Video dari Zenius berikut bisa disimak sebagai pengantar dalam tulisan kali ini.

Video tersebut merupakan potongan dari perbincangan Elon Musk dengan Chris Anderson (kurator TED Talk) di tahun 2013. First principle thinking merupakan kerangka berpikir dengan menggali suatu hal sampai ke esensi atau elemen dasarnya, sehingga hal itu tidak terbungkus asumsi-asumsi dan tidak bisa diurai lebih dalam lagi, kemudian berusaha membangun pemikiran sendiri dari esensi dasar itu. Kerangka berpikir ini diyakini diawali oleh Aristoteles. Aristoteles mengungkapkan bahwa first principle merupakan basis dasar yang diketahui dari suatu hal.

Dengan penjelasan-penjelasan tersebut, saya akan tetap menggunakan istilah first principle dalam tulisan kali ini. Karena cukup banyak sumber yang menjadi inspirasi saya dalam tulisan ini, sumber-sumber tersebut saya cantumkan di akhir tulisan.

Harus diakui, berpikir dengan first principle bisa menguras energi — dan mungkin juga waktu — karena kita perlu benar-benar menggali akar dan dasar permasalahan. Hal itu diutarakan oleh Elon Musk jauh di tahun 2012 ketika diwawancara Kevin Rose dalam acara Foundation.

Tidak dipungkiri bahwa lebih mudah bagi kita untuk berpikir dengan analogi, berpikir dengan dengan asumsi-asumsi yang sudah ada. Berpikir dengan analogi pun tidak sepenuhnya salah. Berpikir dengan analogi atau mengaplikasikan apa yang sudah terbukti bekerja memang tetap diperlukan untuk menjalani sehari-hari. Tapi, kerangka berpikir seperti itu belum tentu tepat untuk menghasilkan pemikiran yang kuat, melahirkan inovasi, atau memberi solusi atas suatu masalah yang besar bagi kita.

Salah satu contoh sederhana disampaikan oleh Tim Urban tentang perbedaan orang yang bisa masak dengan seorang chef. Seorang chef, sejatinya mengerti dasar-dasar dari beragam rasa, teknik memasak, dan meracik pengetahuan yang dia miliki dalam sebuah resep baru. Sementara itu, seseorang yang bisa masak mungkin memang mahir mengikuti resep itu. Tapi, ketika dia kehilangan resep itu besar peluangnya untuk kebingungan. Sedangkan sang chef, bisa tetap berkreasi karena memiliki pengetahuan yang esensial.

Saya merasa bahwa kerangka berpikir itu sebuah spektrum. Mungkin, sebuah spektrum yang lebar antara berpikir dengan analogi sampai berpikir dengan first principle. Sehari-hari, bisa saja kita ada di tengah-tengahnya.

Tapi, untuk mencoba berpikir bagi diri sendiri dan mengatasi masalah-masalah besar dalam hidup, saya merasa perlu mengasah kerangka berpikir dengan first principle. Semakin dewasa, seringkali kita semakin jauh dari jiwa penasaran yang ada saat kita kecil. Mempertanyakan banyak hal sampai sedetil mungkin terkadang memang mengesalkan dan menguras energi seperti yang dibilang Elon Musk.

Penelusuran lebih lanjut tentang “bertanya” mengantarkan saya pada istilah lainnya yaitu Socratic Questioning atau Metode Sokrates. Metode Sokrates mengajak kita untuk bernalar dengan pertanyaan dalam usaha mengeksplorasi sebuah hal secara mendalam. Salah satu referensi menarik yang saya temukan dari Intel Education Initiative. Beberapa contoh pertanyaan yang bisa kita coba antara lain:

  • Mengapa kita yakin hal ini benar?
  • Mengapa hal ini penting?
  • Apakah ada informasi lain yang kita butuhkan?
  • Apakah kita bisa menjelaskan nalar berpikir kita tentang hal ini?
  • Apa masih ada yang membuat kita ragu?

Dikutip dari dokumen Intel: dengan menggunakan Socratic Questioning, guru-guru dapat mengenalkan cara berpikir independen kepada murid-muridnya dan memberi para murid rasa memiliki akan apa yang dipelajari. Kemampuan berpikir lebih tinggi bisa lahir ketika murid berpikir, berdiskusi, berdebat, mengevaluasi, dan menganalisa melalui pemikiran mereka sendiri dan pemikiran lingkungan mereka.

Pernyataan itu cukup menohok bagi saya. Terutama di masa SMP dan SMA ketika lebih banyak guru yang menilai bahwa kemampuan menghafal dan nilai sempurna adalah yang terpenting.

Perbedaan antara hafal dan paham juga menjadi contoh nyata yang dekat dengan kita terkait first principle. Saya menyadari hal ini setelah mendengar dan melihat karya mas Hilman Ramadhan, pendiri sekolahkoding.com, yang sempat membahas first principle di podcast-nya. Sejauh ini, karya mas Hilman Ramadhan menjadi salah satu sumber informasi terbaik tentang first principle dengan bahasa Indonesia yang sederhana.

Disadur dari instagram mas Hilman:

Jangan menerima suatu teori bulat-bulat, meskipun banyak orang lain mengikuti. Bagi hal yang kamu pelajari menjadi bagian-bagian kecil. Lihat dia seperti rangkaian lego. Pelajari setiap “hal kecil” secara mendalam. Dengan mengerti setiap “hal kecil”, kamu menjadi paham, bukan sekadar hafal. Kepingan ilmu ini bisa dirangkai menjadi hal unik yang menjadi kekuatanmu.

Bagian “jangan menerima suatu teori bulat-bulat” sangat mengena bagi saya. Apalagi, di era arus informasi yang melimpah sekarang ini semakin mudah kita melihat berbagai “teori” di internet. Seringkali, apa yang beredar pun juga sudah di luar konteks. Mungkin, begitu juga dengan apa yang saya coba tuliskan sendiri. Saya pun masih terus belajar agar tidak menelan berbagai hal mentah-mentah dan lebih rajin mempertanyakan sesuatu.

Satu lagi yang menarik seputar “bertanya” datang dari James Clear. Di salah satu obrolannya bersama Chase Jarvis, dia mengutarakan bahwa pertanyaan lebih baik daripada nasihat. Karena nasihat akan tergantung pada konteks, sedangkan kita semakin hari semakin sadar bahwa dunia itu dinamis. Sedangkan, pertanyaan bisa kita terapkan dalam berbagai situasi yang kita hadapi.

Sebuah pertanyaan memang lebih mudah melatih kita untuk berpikir dan bernalar demi membentuk pemikiran yang lebih mandiri. Mungkin, kita bisa melihat kembali masa lalu kita di masa SD sampai SMA yang seringkali “dipaksa” menghafal dan disuapi soal-soal pilihan ganda. Kita tidak banyak diajak untuk mencoba bernalar menjawab pertanyaan-pertanyaan terbuka. Tapi, bukan berarti sekarang terlambat untuk belajar.

Saya ingin melanjutkan menulis beberapa contoh terkait first principle thinking. Contoh pertama, kembali dari Elon Musk. Karena, bisa dibilang proses berpikirnya semakin menunjukkan hasil lewat SpaceX dan Tesla. Kita perlu memahami terlebih dahulu keresahan Elon Musk. Dalam obrolannya dengan Neil deGrasse Tyson di StarTalk Radio Elon Musk menjelaskan lima hal yang akan berpengaruh besar pada kelangsungan hidup manusia. Lima hal itu adalah: internet, energi berkelanjutan, eksplorasi luar angkasa terutama kelanjutan kehidupan manusia secara permanen di luar Bumi, kecerdasan artifisial, dan modifikasi kode genetis manusia. PayPal, Tesla, dan SpaceX bisa kita lihat sebagai upaya Elon Musk dalam mewujudkan hal-hal besar yang ia rasa penting untuk kelangsungan hidup manusia.

Kemudian, mari kita lihat lebih spesifik dari sisi eksplorasi luar angkasa. Secara umum, kita mungkin tahu bahwa manusia memerlukan roket untuk terbang ke luar angkasa. Lalu, yang jadi masalah mungkin sama dengan semua masalah yang kita hadapi sebelum memulai sesuatu: biaya. Membeli roket yang siap meluncur memerlukan biaya yang luar biasa. Umumnya, ketika roket luar angkasa beroperasi, roket tersebut meluncurkan beban sebesar 27,5 ton dengan biaya keseluruhan mencapai 1,5 Milyar USD Dinormalisasi secaara sederhana menjadi sebesar 54.500 USD per kg setiap peluncuran roket.

“Roket itu mahal” adalah asumsi umum yang diterima banyak orang. Dengan menerapkan first principle thinking, Elon Musk mencoba berangkat dari pertanyaan: roket itu sejatinya terbuat dari apa? Apakah betul harus semahal itu?

Secara garis besar, ada aluminium, titanium, tembaga, karbon fiber, dan tentu berbagai komponen kecil lainnya. Selain mencoba membangun roket sendiri, SpaceX juga berambisi untuk membuat roket yang bisa digunakan kembali. Penggunaan kembali ini tentu akan semakin menurunkan biaya peluncuran roket. SpaceX Falcon 9, roket yang sudah dipakai untuk mengakses International Space Station (ISS); akhirnya hanya membutuhkan biaya sekitar 2.800 USD per kg peluncuran.

Begitu pula halnya ketika Elon Musk mencoba mendapatkan baterai yang tepat untuk mobil yang dipasarkan Tesla. Asumsi yang sebelumnya sudah banyak diterima adalah baterai yang menjadi komponen penting itu mahal sehingga kendaraan listrik tidak akan menarik pasar. Dalam wawancara bersama Kevin Rose, Elon Musk mencoba menjelaskan proses berpikir dalam membangun baterai yang lebih murah.

Disadur dari wawancara Kevin Rose dan Elon Musk:

“Harga umum baterai sekitar 600 USD per kWh dan banyak yang berasumsi itu tak akan turun. Jika kita mengaplikasikan bernalar dengan first principle, kita perlu bertanya, baterai itu terbuat dari apa saja? Berapa harga material-material pembentuk baterai di spot market? Kita bisa mencari harga kobalt, nikel, aluminium, karbon, polimer, dan baja. Jika kita bisa secara cerdas mengumpulkan komponen-komponen itu, kemudian merangkainya menjadi baterai yang sesuai dengan kebutuhan, kita akan mengeluarkan biaya yang jauh lebih murah di harga 80 USD per kWh.”

Elon Musk benar-benar memberi contoh nyata tentang menggali sedalam mungkin sampai pada kebenaran yang paling fundamental dan mulai membangun satu per satu dari pemahaman fundamental itu.

Foto oleh Glen Carrie di Unsplash

Penelusuran di internet tidak memberi banyak contoh lainnya, karena mungkin Elon Musk menjadi contoh yang banyak dibicarakan orang sehingga akan terus muncul di halaman depan mesin pencarian. Saya mencoba menggali contoh lain dari sisi investasi, tepatnya dari pandangan Chamath Palihapitiya. Chamath Palihapitiya adalah seorang investor dan CEO dari Social Capital. Membicarakan investasi, salah satu istilah yang umum dikenal adalah value investing atau investasi nilai. Nilai yang umum diterima adalah nilai pasar yang sedang berada di bawah nilai intrinsik. Pemahaman tersebut tentu juga menimbulkan banyak perdebatan dan tidak sedikit yang menganggap metode value investing mulai tidak relevan. Chamath Palihapitiya memberikan opini yang menarik dalam obrolannya dengan Patrick O’Shaughnessy di podcast Invest Like The Best. Chamath mencoba menjawab pertanyaan tentang apa itu value investing dengan menanyakan Patrick:

  • Berapa banyak anak yang dimiliki?
  • Lalu, apakah anak-anak itu bernilai?
  • Seberapa bernilai anak-anak itu? Anak kita tentu bernilai tak terhingga, kan?

Chamath kemudian lanjut memberi pertanyaan retorika: kita tidak akan mengatakan anak kita bernilai hanya karena mereka berbiaya 4 dolar, kan? Chamath merasa kesalahan terbesar dalam pemahaman orang pada umumnya tentang value investing adalah ketidakinginan untuk memahami makna value atau nilai dengan lebih mendalam. Chamath berpendapat bahwa bernilai (valuable) itu bermakna sangat berharga (great worth). Bukan hanya sekadar angka-angka rasio investasi yang “mengindikasikan” murah. Dia menekankan kembali bahwa dalam pemikirannya dia menanyakan:

  • apa yang akan sangat berharga bagi kehidupan manusia di masa depan
  • Apa yang sesunguhnya bernilai?

Dia memiliki keyakinan bahwa di masa depan keamanan iklim, akses merata ke kapital, dan juga akses kesehatan merupakan sesuatu yang bernilai.

Saya rasa, cara pandang Chamath tersebut menarik sebagai contoh untuk mencoba bernalar dalam kerangka first principle akan suatu hal yang banyak diyakini dan disebut orang tapi belum kita pahami secara fundamental.

Dalam tulisan ini, saya telah mencoba mengulik beberapa contoh. Mulai dari tentang chef, kemudian cara Elon Musk berpikir dan mewujudkan misinya, lalu pandangan Chamath Palihapitiya tentang makna value investing.

Seperti yang diutarakan Elon Musk, bernalar dengan first principle memang akan menguras energi mental. Bahkan, menuliskan tentang first principle ini saja cukup menguras energi. Tapi, bagi saya menulis tetap menjadi salah satu cara berlatih bernalar yang penting danmenarik.

Saya sendiri semakin merasa perjalanan belajar tidak ada habisnya dan ada saja tantangannya. Memahami first principle semoga bisa membantu untuk lebih bernalar dan lebih penasaran untuk memahami sesuatu dari prinsip fundamentalnya. Agar tidak terjebak dalam keriuhan yang semakin ramai di dunia internet.

Ada satu ilustrasi menarik dari Safal Niveshak yang menggambarkan salah satu pesan Elon Musk tentang cara memandang pengetahuan layaknya pohon. Kita perlu pemahaman yang kuat di akar, tubuh, dan cabang besar pohon daripada berkutat hanya di dedaunan (keriuhan) saja.

Ilustrasi “The Wisdom of Tree” oleh Safal Niveshak

Di penutup tulisan ini, saya juga ingin mengingatkan diri kembali untuk tidak menelan sesuatu mentah-mentah. Hal ini terinspirasi dari salah satu disclaimer penting di buku Almanack of Naval Ravikant. Eric Jorgensen yang menyusun buku itu menyampaikan bahwa apa yang ada di buku itu diambil di luar konteks. Karena buku tersebut merupakan rangkaian dari berbagai transkrip dari berbagai hal yang pernah diutarakan Naval. Jadi, pembaca (dan juga saya sendiri) tetap perlu menginterpretasikan sebijak mungkin dan membangun pemikiran sendiri.

Salam.

Berikut ini berbagai sumber yang membantu saya menyusun tulisan sendiri tentang first principle:

  • Podcast tehataukopi oleh mas Hilman, episode “Apa itu first principle thinking?”:
  • Wawancara Elon Musk oleh Kevin Rose (2012):
  • Wawancara Elon Musk oleh Chris Anderson di TED (2013):

Tulisan lain dari saya yang sedikit berkaita“bertanya dan berpikir”:

--

--